A Reason Why

:)

Postingan ini didedikasikan untuk orang-orang yang bertanya, "why?", yang minta dijelasin panjang lebar dan ku hanya bisa menjawab, "nanti kalau ketemu ya kuceritain hehe"
"why you choose this erratic way?"
"why you decide it so fast?"
dan why-why yang lainnya

Semoga postingan ini bisa sedikit menjawab "a reason why" aku memutuskan hal sebesar ini dalam hidupku. Meskipun gak benar-benar "a" tapi "some/many" sih sebenernya, dan mungkin ada yang gak akan kuceritakan juga disini karena suatu alasan.

Hehehe.

Oiya sebelumnya, selamat dan semangat buat kita semua yang udah mulai memasuki dunia kerja. Barakallahu fiik 😃 

Jadi gini, mungkin ada di antara kalian yang liat akun ig ku, terus tau story ini. Menurut kalian, kalau aku ikut polling, aku bakal pilih yang mana?


Kayaknya sebagian besar orang bakal ngira aku milih "ikuti passion" dengan poin :
1. Keluar Be Pe eS berarti gak ngikutin takdir kan
2. Jelas belain passion nya orang kerjanya di data tech company

Tapi sebenernya, aku gak memilih "ikuti passion". Aku memilih keduanya, atau tidak memilih keduanya. 

1. Ikuti passion : ya, aku emang masih cupu di bidang yang merupakan core value pelajaran di komputasi statistik. Menarik. Meskipun kadang bikin pusing wkwk. Sejujurnya passionku adalah sesuatu yang berhubungan dengan kreatifitas dan melihat kebahagiaan manusia. Kalau di bidang data tech ini aku pribadi bisa membantu lebih banyak orang, why nut? kenapa kacang?
2. Ikuti takdir : sejujurnya aku masih menata mindset soal prinsip takdir ke kasus memilih "masa depan" ini. Ada salah satu tweet temenku yang intinya bilang "mungkin takdirmu adalah melawan takdir itu". Kedengarannya lucu, tapi otak kita gak nyampe buat mem-breakdown satu-satu asal muasal, sebab akibat dan gimana nantinya buat memutuskan, "jalan mana yang emang itu takdirku?". Entahlah, pokoknya prinsip utama soal ini adalah "Allah tau yang terbaik"

Lanjut ke stori yang isinya kegalauanku selanjutnya ya.


Seri kepo di stori ig ku ini ada sebagai ungkapan perasaan yang kuubah jadi sesuatu yg ngajak temen online ku ngerasain hal yang sama. Entah kenapa seneng aja ngeliat pemikiran dari orang-orang, meskipun kadang belum tentu mempengaruhi aku juga hehe.

Kepo 2.7 yang pertanyaannya "kalau ketemu jalan buntu, kalian bakal ngapain?" mencerminkan bahwa saat itu aku nemu jalan buntu. Ya bener, tapi gak sepenuhnya bener.

Ada satu hal yang mungkin selama ini cuma aku, Allah dan malaikat roqib atid yang tau. Eh ada beberapa orang juga sih yg tau. Masuk kampus ini karena keinginan keluarga, menentang keinginan egik kecil yang baru lulus sma buat masuk ke jurusan impiannya. Terus gimana? karena gak punya pendirian waktu itu, akhirnya belajar H-beberapa jam ujian, langganan keluar masuk ruang dosen, kayak orang yang gak punya masa depan lah pokoknya. Tujuan kuliah cuma dateng dan dapet tid. Astaghfirullah. Sehina itu emang masa lalu ku yang bertahan sampe tingkat 2. Jadi, jangan ditanya soal ip ya..

Nah memasuki semester genap tingkat 2 itu, ada suatu kejadian yang gak bisa kuceritain disini. Pokoknya terkait keluarga yang jadi titik balik dan ngasih motivasi buat "Lakukan yang terbaik, terutama buat mereka. Selagi kamu punya kesempatan". Entah apapun keinginan mereka selama itu masih sejalan dengan perintah Yang Diatas. Sampai suatu hari muncul kata-kata, "kamu kalau bisa ditempatin di pusat ya, Nak. Pokoknya yang sedeket mungkin dari rumah"

Server not responding


Aku emang gak pernah cerita apapun soal ip atau masalah di kampus ke orang rumah, dan mereka pun juga gak tanya. Mereka menganggap aku baik-baik saja disana karna yang kuceritain ke mereka ya cuma yang nyenengin aja, "Bun aku dari bogor, dapet duit Alhamdulillah hehehe"

Singkat cerita, aku mutusin ngambil jalan lain buat dapetin kursi di Dr. Sutomo 6-8, yaitu ipekaem. Dua tahun terakhir kuhabisin waktu buat gak diem di kos, sampe gak tau udah ikut berapa kali lomba beserta gagalnya, berapa kepanitiaan dan organisasi luar dalam kampus, sampe bisa submit 43 pengajuan di web ipekaem. Tapi qadarullah, amanah gak akan salah memilih pundak. Jalur terakhir ini pun gagal.

Waktu yudisium aku lagi di rumah, denger berita itu ku langsung minta maaf ke ayah bunda. Aku ngeliat kepasrahan mereka, "opo jare gusti Allah. nek diijabah kan mesti ono dalane". Pun denganku, pasrah dan mulai membuka atlas. Memeta-metakan, kira kira daerah luar jawa mana lagi yang paling deket sama rumah. 

Jeng jeng! Hari wisuda pun datang 😄
Eh ini ceritanya pas gladi ding, bagi SKL yang bertuliskan nomor ijazah = ranking. Yang benar saja, kata orang, kalau kamu udah hancur di tingkat awal, meskipun di tingkat akhir dapat ip sempurna pun gak akan bisa bantu kamu, kecuali keajaiban (misal algoritma sipadu bermasalah gitu wkwkwk). Gak mungkin lah yaw :v

Jadi, balik lagi ke kepo 2.7, apakah saat itu ku lagi mendapat jalan buntu? Mungkin ada yang berpikir iya. Gagal dapetin kursi di kantornya Pak Kecuk, terus apakah aku harus balik arah lagi, memulai hidup baru di tempat yang baru?
Sejujurnya aku tipe orang yang lebih memilih memperjuangkan sesuatu sampai tuntas (kalau niat ya wkwk), gak yang kalau ketemu jalan buntu balik lagi nyari yang lain, whicis itu adalah jalan yang kiri (lompatin pager jalan buntu)

Tapi ya.. jalan hidup itu punya Allah. Kita kan cuma numpang lewat doang, mau diarahin kemanapun, itu kehendak Dia.

Aku memastikan pikran dan hatiku siap menjadi abdi negara, sampai selesai wisuda pun, ku masih melihat masa depanku adalah menjadi asn. Meskipun aku gak tau gimana caranya Allah ngabulin keinginan tersirat orang rumah.

Gak lama setelah itu, Allah mulai menunjukkan jalannya yang bercabang, yang harus kupilih salah satu. Sebenernya aku dipertemukan dengan CEO perusahaan tempatku bekerja sekarang ini udah dari setahun yang lalu pas kenaikan tingkat 4. Gak ada angin gak ada hujan, ada satu pesan di WA dari nomer gak dikenal, intinya menawarkan sesuatu. Tapi aku masih optimis menjadi abdi negara dan ingin fokus skripsi, jadi gak mengambil tawarannya sama sekali. 

Sekarang kondisiku sudah dipindah ke kanan tali toganya. Officially harus 'dewasa' dalam mengambil keputusan.

Sekali lagi, kita gak akan pernah tau kemana Allah akan mengarahkan jalan untuk setiap hamba-Nya. Kata temenku bener, kamu masukin telur ke wajan panas, gak selalu akan jadi telur mata sapi, bisa juga jadi telur dadar atau orak arik, atau masakan lain. Tergantung sama kokinya mau diapain atau ditambah bahan apa lagi telurnya tadi. Beberapa bayi lahir di tempat dan waktu yang sama, belum tentu meninggalnya di tempat dan waktu yang sama juga. 

Sebulan saat temen-temen pada liburan, aku merenung sendirian di kosan. Berminggu-minggu mikir jalan mana yang terbaik. Tanya ke kating, sahabat, orang luar, bikin crosstab plus minus, istikharah, telpon orang rumah terus, dan....

Here I am. 
Standing on power from Allah.
Hasbunallah wani'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung)

Kalau beberapa temanku mengira berita ini sangat mengejutkan, ngangetin, gak ada angin gak ada hujan, "kok secepet itu mutusinnya? emang udah dipikir mateng-mateng?". Batasan mateng enggaknya pemikiran manusia itu gak ada yg tau, termasuk aku sendiri. Menurutku udah, mungkin menurut yang lain belum, pun sebaliknya. 

Kalau ditanya gimana perasaannya memutuskan ini? Berat... berat berat berat.... banget. Ninggalin sesuatu yang udah jadi comfort and safe zone-ku. Ngelepas hasil perjuangan 4 tahun yang berupa "pekerjaan" impian yang orang rela bayar mahal buat ini. Pindah ke pekerjaan yang dituntut berat dan beresiko. Sejujurnya aku siap penempatan. Eksplorasi sesuatu yang baru itu menyenangkan. Bahkan mungkin lebih seneng balik ke 'desa' lagi ngerasain udara seger dan ijo yang gak bisa kudapetin di jkt. Tapi kalau orang rumah lebih merestui pindah, ya aku cuma bisa bismillah. 

Rasa berhutang budi dengan nominal 216 juta rupiah itu menurutku belum sebanding. Tapi hukum lah yang membuatnya sebanding. Dosen pembimbing pun bilang "Berbakti buat negeri itu gak cuma dengan jadi pns caranya, ada banyak".

Sejujurnya aku agak kaget juga waktu minta pendapat ayah dan bundaku yang kayak, "Keluar aja Kak, kakak lebih baik di luar". Dalam hati, what?. "Lho bukannya dulu aku disuruh masuk kedinasan supaya jadi pns?". Mereka ketawa kecil. "Maksudnya, kita memilih jalan A bukan berarti nanti harus milih jalan B, kalau emang sama Allah dikasih pilihan antara jalan B dan C dan dengan keterbatasan pikiran kita ngeliat jalan C lebih baik, ya bismillah gapapa pilih yang C. Rejeki kan udah ada yang ngatur". Ya dan akhirnya ini yang jadi mindset aku, kayak yang telur-telur juga tadi.

"Terus kalau ayah bunda pengen aku yang deket terus, berarti aku gak boleh lanjut kuliah di luar negeri?"

"Kan kuliah gak selamanya, bentar terus balik kan. ya gapapa". Dalam hati, syukurlah 😅

"Tapi gini lho sebenernya, ayah sama bunda emang kepengen kakak deket dari rumah, tapi ya bukan berarti menentang kehendaknya Gusti Allah, bukan berarti gak ngebolehin kakak jauh. Kalau emang ada pilihan jalan bercabang lagi, ya kita timbang kita istikharahkan lagi, mana yang terbaik. Gituu..."

Aku baru paham. Kayaknya mereka melihat jalan ini lebih baik buat aku. Gak paham lah sama insting orang tua. Tapi gapapa, balik ke tekad di tingkat 2 tadi, bahagiakan mereka selagi kamu punya kesempatan. Buatlah passionmu itu adalah membahagiakan mereka #ecieee #iyalah belum ada yg lain yg bisa dibahagiain :v 😅

"Inget prinsip tadi, kita gak pernah tau apa rencana Allah kedepannya, jalanmu mau dibawa kemana. Berusaha yang terbaik yang kamu bisa, pasrah sama Gusti Allah. Kalau ikhlas itu hidupmu bakal tenang kok"


- Jakarta, 10-10-19 (23:32)

💌

Notes : Mohon maaf kalau dalam penulisan ini ada salah kata atau ada yang menyinggung, tulisan dibuat dengan senetral-netralnya dengan tujuan cuma jelasin alasan mengambil keputusan besar ini :)

Comments

Popular posts from this blog

Hey, Cream Heroes

a Servant

Review Series "Kenapa Belum Nikah?" Part 2